contoh kasus Masyarakat Pedesaan
Masyarakat Desa Lebih Taat Bayar Pajak
BANTUL, KOMPAS.com - Dibandingkan masyarakat perkotaan, masyarakat pedesaan di Bantul ternyata lebih taat membayar pajak. Hal tersebut terlihat dari tingginya realisasi pajak bumi dan bangunan atau PBB pedesaan per 30 September yang mencapai 129,8 persen sementara PBB perkotaan hanya 54 persen.
PBB pedesaan tercatat Rp 1,7
miliar sementara targetnya Rp 1,3 miliar. Untuk PBB perkotaan dari
target Rp 14,2 miliar baru terealisasi Rp 7,7 miliar
Menurutnya, secara keseluruhan realisasi PBB di Bantul per 30 September baru mencapai 60,6 persen. Bagi yang belum membayar masih diberikan kelonggaran waktu hingga tanggal 29 Oktober. Setelah itu tagihan PBB akan dikenai denda sebesar 2 persen per bulan.
Editor :
R Adhi KSP
http://regional.kompas.com/read/2010/10/06/20321866/Masyarakat.Desa.Lebih.Taat.Bayar.Pajak.
contoh kasus Masyarakat Perkotaan
Masalah Sosial Dalam
Masyarakat
Perkelahian
antarpelajar sering terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan
kota-kota besar lainnya. Perkelahian tersebut tidak hanya menggunakan tangan
kosong atau perkelahian satu lawan satu, melainkan perkelahian bersenjata,
bahkan ada yang menggunakan senjata tajam serta dilakukan secara berkelompok.
Banyak korban berjatuhan, bahkan ada yang meninggal dunia. Lebih disayangkan
lagi, kebanyakan korban perkelahian tersebut adalah mereka yang justru tidak
terlibat perkelahian secara langsung. Mereka umumnya hanya sekadar lewat atau
hanya karena salah sasaran pengeroyokan. Kondisi ini jelas sangat mengganggu
dan membawa dampak psikis dan traumatis bagi masyarakat, khususnya kalangan
pelajar. Pada umumnya mereka menjadi was-was, sehingga kreativitas mereka
menjadi terhambat. Hal ini tentu saja membutuhkan perhatian dari semua kalangan
sehingga dapat tercipta suasana yang nyaman dan kondusif khususnya bagi
masyarakat usia sekolah.
Data
yang dihimpun Direktorat Bimbingan Masyarakat Polda Metro Jaya menunjukkan
bahwa jumlah apalagi persentase pelajar yang terlibat tawuran tidaklah besar.
Namun, dari segi kualitas, kasus yang terjadi sudah membahayakan, baik bagi
para pelajar maupun masyarakat lainnya. Pemicu tawuran sering sangat sepele
seperti saling mengejek, membela teman yang punya masalah pribadi dengan
pelajar di sekolah lain, atau pemalakan. Namun, kenapa hal-hal yang sepele
tiba-tiba bisa memicu agresivitas dan keberingasan pelajar yang sama sekali tak
mencerminkan "budaya keterpelajarannya"?
Jawaban
tentu tak pernah tunggal atau hitam putih. Para ahli yang telah mengkaji
masalah ini hampir sepakat bahwa akar masalah tawuran pelajar disebabkan oleh
banyak faktor. Penyebab pada satu kasus tidak selalu sama dengan penyebab pada
kasus yang lain. Untuk itu ada baiknya kita memahami berbagai sumber masalah
yang mungkin dapat membantu menjelaskan mengapa perilaku tawuran tersebut dapat
terjadi.
Pertama
kondisi psikologis. Pelajar yang sedang menempuh pendidikan di SLTP maupun
SLTA, bila ditinjau dari segi usianya, sedang mengalami periode yang sangat
potensial bermasalah. Periode ini sering digambarkan sebagai storm and drang
period (topan dan badai). Dalam kurun ini timbul gejala emosi dan tekanan jiwa,
sehingga perilaku mereka mudah menyimpang. Dari situasi konflik dan problem ini
remaja tergolong dalam sosok pribadi yang tengah mencari identitas dan
membutuhkan tempat penyaluran kreativitas. Jika tempat penyaluran tersebut
tidak ada atau kurang memadai, mereka akan mencari berbagai cara sebagai
penyaluran. Salah satu eksesnya, ya itu tadi, berkelahi.
Kedua
masalah yang bersumber dari manajemen rumah tangga yang tidak efektif Pola asuh
yang tidak tepat (pola asuh keras menguasai maupun pola membebaskan) serta
hubungan yang tidak harmonis antaranggota keluarga dapat menyebabkan anak tidak
betah di rumah dan mencari pelampiasan kegiatan di luar bersama teman-temannya.
Hal ini tidak jarang menyeret mereka kepada pergaulan remaja yang tak sehat,
seperti perkelahian.
Ketiga
masalah yang bersumber dari kerawanan sekolah. Setidaknya ada faktor yang
mempengaruhi tingkat kerawanan sekolah. Pertama adalah faktor fisik sekolah
seperti berdekatan dengan pusat-pusat hiburan/keramaian, kurangnya sistem
pengamanan lingkungan, serta tidak tersedianya sarana yang membuat anak-anak
betah di sekolah. Kedua adalah faktor psikoedukatif, yaitu ketertiban dan
kelancaran proses belajar-mengajar di sekolah. Ketiga adalah faktor efektivitas
interaksi edukatif di sekolah. Supriyoko (1995) meneliti, kontribusi efektif
faktor lingkungan sekolah terhadap kenakalan pelajar mencapai 13,26%. Ada
stereotipe bahwa sekolah-sekolah tertentu punya tradisi tawuran dan
sekolah-sekolah tertentu menganggap siswa sekolah lain sebagai
"lawan". Tawuran yang terjadi umumnya bukan didasarkan pada
permusuhan pribadi, tapi lebih karena sifatnya yang sudah turun-temurun. Dalam
beberapa kasus, tawuran bisa juga terjadi karena adanya penyerangan atau
pemalakan (perampasan) atas individu suatu sekolah lain yang kemudian memancing
reaksi balik.
Keempat
faktor lingkungan masyarakat. Belakangan budaya kekerasan berkembang di
masyarakat. Media cetak maupun elektronik punya andil yang besar. Aksi
kekerasan telah menjadi menu utama berita yang mereka tampilkan. Tawuran pelajar
sedikit banyak adalah hasil vicarious learning, yaitu proses belajar melalui
peniruan perilaku model yang dilihat dan diidolakan. Dalam beberapa contoh para
pelajar menganggap cara kekerasan cukup efektif untuk mencapai tujuan.
Kelima tindakan kurang antisipatif dari aparat keamanan. Mereka sering tak ada atau kurang cekatan mengamankan daerah yang menjadi ajang tawuran. Dalam hal penegakan hukum, aparat keamanan kurang memiliki wibawa dan konsistensi untuk menindak para pelaku. Ada keraguan apakah para pelaku tawuran bisa dikategorikan sebagai tindak kriminal atau sekadar kenakalan biasa. Melengkapi identifikasi faktor-faktor penyebab terjadinya tawuran pelajar dalam ilmu psikologi dikenal adanya teori psikogenis. Teori ini memandang fenomena tawuran pelajar - yang merupakan bagian dari kenakalan pelajar atau secara lebih luas penyimpangan perilaku remaja (delikuensi) - dapat saja merupakan kompensasi dari masalah psikologis dan konflik batin dalam menanggapi stimuli eksternal/sosial. Hampir senada dengan itu, teori sosiogenis yang banyak dikenal para sosiolog menjelaskan bahwa kasus tawuran pelajar dapat terjadi murni sosiologis atau psikologis. Ini adalah akibat daripengaruh struktur deviatif, tekanan kelompok peranan sosial, dan internalisasi simbolis yang keliru.
Kelima tindakan kurang antisipatif dari aparat keamanan. Mereka sering tak ada atau kurang cekatan mengamankan daerah yang menjadi ajang tawuran. Dalam hal penegakan hukum, aparat keamanan kurang memiliki wibawa dan konsistensi untuk menindak para pelaku. Ada keraguan apakah para pelaku tawuran bisa dikategorikan sebagai tindak kriminal atau sekadar kenakalan biasa. Melengkapi identifikasi faktor-faktor penyebab terjadinya tawuran pelajar dalam ilmu psikologi dikenal adanya teori psikogenis. Teori ini memandang fenomena tawuran pelajar - yang merupakan bagian dari kenakalan pelajar atau secara lebih luas penyimpangan perilaku remaja (delikuensi) - dapat saja merupakan kompensasi dari masalah psikologis dan konflik batin dalam menanggapi stimuli eksternal/sosial. Hampir senada dengan itu, teori sosiogenis yang banyak dikenal para sosiolog menjelaskan bahwa kasus tawuran pelajar dapat terjadi murni sosiologis atau psikologis. Ini adalah akibat daripengaruh struktur deviatif, tekanan kelompok peranan sosial, dan internalisasi simbolis yang keliru.
Atas
pemahaman terhadap beberapa kemungkinan sumber masalah tersebutdi atas, ada
beberapa alternatif solusi yang perlu ditempuh sebagai antisipasi terhadap
kemungkinan terjadinya kasus tawuran pelajar.
Pertama,
keluarga perlu melakukan refleksi atas perannya sebagai lembaga pendidikan yang
pertama dan utama bagi anak. Upaya-upaya yang bisa dilakukan misalnya:
- memberikan bekal pendidikan agama yang cukup;
- memberikan bekal pendidikan agama yang cukup;
-
menciptakan suasana rumah yang menyenangkan sehingga seluruh anggota
keluarga menjadi betah;
keluarga menjadi betah;
-
memberikan perhatian yang cukup pada anak sehingga mereka tidak
mencari perhatian di luar rumah.
mencari perhatian di luar rumah.
Kedua,
perlu ada reorientasi pendidikan di keluarga dan lebih-lebih di sekolah.
Pendidikan yang baik adalah yang bisa mengembangkan secara seimbang tiga
potensi, yaitu berpikir, berestetika, dan berkeyakinan kepada Tuhan. Proses
pendidikan hendaknya menempatkan anak sebagai subyek dan secara optimal
dikembangkan untuk lebih kreatif, berinisiatif, dan ada ruang gerak untuk
berpendapat.
Ketiga,
telah disadari bahwa salah satu faktor yang mendorong tawuran adalah makin
tidak adanya ruang/lahan yang dapat dipergunakan untuk berolahraga.
Tempat-tempat tersebut perlu untuk penyaluran agresivitas remaja, mengingat
gelanggang remaja yang ada sudah tidak lagi mampu menampung kebutuhan. Oleh
karena itu, untuk pendirian suatu sekolah baru perlu dipersyaratkan adanya
ruang untuk kegiatan olahraga.
Keempat,
meskipun lokasi terjadinya tawuran tidak berada di lingkungan sekolah, dan
waktu terjadinya sebelum atau seusai jam pelajaran, secara langsung ataupun
tidak sekolah juga mempunyai andil. Paling tidak secara moral sekolah harus
ikut bertanggung jawab atas terjadinya tawuran yang melibatkan anak didiknya.
Ada beberapa saran tindakan yang dapat dilakukan pihak sekolah. Sekolah harus
selalu menjaga agar ketertiban dan kelancaran proses belajar-mengajar serta
interaksi edukatif dapat dijalankan melalui manajemen kelas dan sekolah yang
efektif. Basry Siregar (1991) dalam penelitiannya menemukan bahwa siswa yang
terlibat tawuran umumnya berasal dari sekolah yang kurang berwibawa dan tidak
tegas menghadapi pelanggaran tata tertib sekolah. Sekolah yang siswanya
terlibat tawuran perlu menjalin komunikasi dan koordinasi yang terpadu untuk
bersama-sama mengembangkan pola penanggulangan dan penanganan kasus. Ada
baiknya diadakan pertandingan atau acara kesenian bersama di antara
sekolah-sekolah yang secara "tradisional bermusuhan" itu.
Kelima,
Direktorat Bimas Polri telah mempunyai data yang cukup lengkap tentang kasus
tawuran berikut peta sekolah-sekolah rawan. Demikian juga Direktorat Pembinaan
Kesiswaan Depdikbud. Bahkan mereka telah membentuk kelompok kerja
penanggulangan tawuran pelajar. Kalau benar mereka sudah punya data, peta, dan
bahkan jadwal tawuran di ibu kota, kiranya hal ini bisa menjadi pegangan aparat
keamanan untuk mencegahnya. Tinggal bagaimana kesiapan mereka memberikan rasa
aman kepada masyarakat tanpa harus menunggu laporan dari bawah.
Keseluruhan alternatif solusi tersebut hendaknya dapat dilakukan secara terpadu, komprehensif, dan berkelanjutan. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa kita tak boleh menganggap akar masalah tawuran pelajar ada pada diri individu siswa yang terlibat yang dipengaruhi lingkungannya. Bagaimana pihak lain mesti bertindak?
Sumber :
Keseluruhan alternatif solusi tersebut hendaknya dapat dilakukan secara terpadu, komprehensif, dan berkelanjutan. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa kita tak boleh menganggap akar masalah tawuran pelajar ada pada diri individu siswa yang terlibat yang dipengaruhi lingkungannya. Bagaimana pihak lain mesti bertindak?
Sumber :
http://www.crayonpedia.org/mw/BSE:Penyakit_Sosial_Sebagai_Akibat_Penyimpangan_Sosial_dan_Upaya_Pencegahannya_8.1_%28BAB_6%29
http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1999/04/06/0199.html
http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1999/04/06/0199.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar